Selasa, 17 Mei 2011

CERITA

Diposting oleh Pebri Haloho di 12.25

CERITA



            Pagi ini aku akan berangkat ke sekolah baruku. Melanjutkan apa yang kedua orang tua ku inginkan. Aku harus masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Dan, akhirnya aku lulus di sekolah akademik yang setiap siswa seangkatanku pasti menginginkan bersekolah di sana. Karena hanya siswa yang berprestasi yang dapat bersekolah di tempat itu.
Berbeda dengan aku. Aku sama sekali tidak ingin melanjut ke tempat yang penuh dengan tekanan. Aku ingin bersekolah di tempat yang biasa saja, asalkan ada guru yang bisa mengajar dan teman-teman lamaku disana.
            Tapi ini semua harus ku lalui, karena aku tidak ingin mengecewakan orang tuaku. Kemarin malam sebelum hari penerimaan murid baru, aku menentang keras untuk bersekolah di sekolah itu. Bahkan aku mengalami depresi saat orang tuaku membentakku agar aku mau bersekolah di tempat itu. Dan seperti biasa, kata-kata mereka tidak dapat aku bantah.
            Pagi ini adalah pagi yang aku tidak inginkan. Aku berusaha memikirkan jalan terbaik untuk masalahku ini, tetapi waktuku hanya semalaman, dan aku masih belum meiliki jalan keluar yang terbaik. Hatiku mulai gelisah. Aku berusaha untuk menyanyakan kembali pada orang tuaku.
            “Ma, apa aku harus bersekolah di tempat itu?” tanyaku.
            “Kenapa lagi sayang? Kamu ini sudah bagus dapat sekolah di situ. Itukan sekolah terbaik di kota ini, masa kamu mau melepasnya?” kata mamaku, dan aku tahu dengan pasti mama sebenarnya menjawab pertanyaanku itu dengan jawaban “Ya, Harus.!”.
            Aku tertunduk dan berusaha menunjukkan pengekangan diriku pada orang tuaku, tapi sepertinya mereka tidak akan mengubah keputusan mereka.
            “Ya sudah kalau begitu, kita berangkat ya sayang.” kata papa mengajakku.
            “Emmm .. Aku pergi sendiri aja pa, lagian arah tempat kerja papa kan lain sama sekolah baruku. Berangkat ya ma, pa.” aku bergegas mengambil sarapanku di atas meja dan menyambar keluar.
            “Hati-hati ya sayang …” kata mama dan papa serentak. Meski aku sama sekali tidak berniat untuk hati-hati di jalan, tapi aku menjawab “iyaaa…”
            Dengan langkah lesu aku menapaki jalan menuju stasiun bus yang sampai ke tempat yang aku tidak sukai itu, dan stasiun bus itu lumayan jauh. Jarum jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 07.00 WIB. Dan aku tahu aku pasti terlambat.
            Aku merasa hari ini akan jadi hari yang buruk. Dan buruk, dan buruk, dan lebih buruk lagi. Dalam pikiranku hanya ada kekesalan pada orang tuaku.
            ‘Tiiinn… tiiinnn…’ bunyi klakson motor seseorang yang berkendara di belakangku. Aku berusaha jalan semakin ke pinggir, meski sebenarnya aku sudah berjalan di pinggir.
            ‘Tiiinnnnnn… tiiiiiiiinnnnnnnnnn…!!’ bunyi itu lagi. Dan kali ini sepertinya sangat memaksaku. Tapi aku tidak menolehkan wajah sedikitpun kearah bunyi itu berasal. Aku hanya berusaha memelankan langkahku agar dia bisa segera melewati aku.
            ‘Tiinnn.. tiiinn….tinnn…’ bunyi itu berulang ulang. Dan aku mulai bertanya-tanya apa sebenarnya yang diinginkan pengemudi itu. Aku menghentikan langkah kakiku dan membalikkan badan. Hendak menanyakan apa yang diinginkan pengemudi itu, tapi sesaat setelah aku melihat sosok yang memekai seragam yang sama denganku, aku diam.
            Lalu dia memelankan laju motornya dan dengan tersenyum menyapaku. “Hei, kita satu sekolah kan. Kita udah hampir telat ni, kamu bareng aku aja ya.” Katanya dengan wajah yang sangat ramah. Yang belum pernah ku dapatkan dari orang lain selain teman atau saudaraku. Bahkan tidak dari kedua orang tuaku.
            Aku masih diam, firasat buruk mulai muncul. Aku tidak tahu apakah dia adalah orang yang benar ingin membantuku, atau hanya sekadar basa-basi saja, seperti kebanyakan orang lakukan didepanku.
            “Heiii… ayo buruan.. ntar kita makin telat ni..” katanya sambil menarik tanganku. Aku baru melihat ada orang yang begitu berani terhadap orang yang tidak dikenal sama sekali. Tapi, aku ikuti kemauannya juga, aku duduk diboncengan.
            Kemudian dia maju dengen kecepatan tinggi, seakan berselancar di udara. Aku terpaksa menahan rokku, sementara pegangan yang lain meski sudah kupegang erat, tapi tetap tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhku. Mungkin ini kecanggungan tubuh orang yang tidak terbiasa naik motor.
            “Eh, kamu pegangan ke aku. Nanti kamu jatuh.” suaranya jelas ditelingaku meski ia memakai helm.
            Aku tidak mengindahkan permintaannya yang satu ini. Mungkin dia sadar kalau aku tidak ingin menyentuhnya. Dia memperlambat kecepatan motornya.
            “Heii… kamu apa enggak takut terlambat ni??” tanyanya.
            Aku hanya diam.
            “Emmm, kamu kelas apa?” tanyanya lagi, kali ini dia menoleh kearahku. Karna aku merasa pertanyan itu cukup logis dan mudah untuk di jawab, aku menjawabnya, “Kelas junior B”.
            “Ohh…. Ternyata anak junior B, deketan dong sama kelasku. Aku kelas junior A.” katanya dengan senyum. Dia menjawab pertanyaan yang seharusnya aku tanyakan terlebih dahulu.
            “Suka sekolah di situ nggak?” tanyanya lagi. Kali ini pertnyaan yang sangat mengena padaku. Baru kai ini aku dimintai pendapat tentang apakah aku suka sesuatu atau tidak. Biasanya orang tuaku menyediakan semuanya tanpa memikirkan aku akan suka atau tidak. Termasuk mendaftarkanku dan menyuruhku mengikuti tes saringan masuk sekolah akademik. Tapi dia menanyakan hal yang berbeda dari kebanyakan orang lain. Teman-temanku saja tidak menanyakan bagaimana perasaanku. Mereka hanya menyelamatiku saja saat mengetahui aku lulus.
            “Emm.. tidak.” jawabku singkat. Aku merasa dia akan banyak mempertanyakan hal-hal lainnya yang tidak wajar karena jawabanku itu.
            “Hehehe, kok sama? Aku juga nggak suka sekolah di sekolah akademik. Meski orang lain ingin sekali, tapi aku lebih suka di sekolah biasa aja. Kamu kenapa nggak suka?” pertanyaan yang sudah ku tebak.
            “Emm, aku juga lebih suka bersekolah di tempat yang biasa.” jawabku.
            “Oooo… hahaha….” balasnya.
            Mungkin dia juga merasa janggal berbicara denganku. Dan 15 menit kemudian, kami tiba di sekolah.
            Dia langsung memarkirkan motornya, dan bergegas ingin masuk ke barisan. Tapi aku sebaliknya, aku bahkan tidak mempercepat langkah kakiku. Dia menoleh, dan menarik tanganku.
            “Kita bener-bener udah terlambat nihh..” katanya menarik tanganku dan dengan setengah berlari.
            Tak mujur, seorang guru yang berda di dekat piket melihat kami. Dan kami harus menghadap pada guru itu.
            “Kalian berdua, cepat kemari!!” teriak guru yang kelihatannya galak itu. Kami menuruti perintah guru itu.
Kulihat laki-laki yang menarik tanganku ini masih menunjukkan wajah gembira, dia masih bisa tersenyum walaupun sepertinya dia tahu kalau akan ada masalah yang akan dihadapinya. Aku berpikir, apa benar dia yang sudah masuk sekolah favorit, dan juga kelas favorit, merasa tidak suka bersekolah di tempat yang paling spesial? Dan tidak ada jawaban yang pasti, karena aku hanya menanyakan hal itu dalam hati.
Dia menarikku dan menghampiri pak guru yang berdiri sekitar seratus meter di depan kami.
            “Maaf pak, kami terlambat.” katanya kepada guru itu.
            “Kalian berdua ini siswa yang bagaimana? Hari ini upacara penerimaan siswa baru, tapi kalian berdua terlambat. Kenapa kalin terlambat?” tanya lelaki paruh baya itu sedikit marah. Dan banyak lagi ucapan guru itu yang sama sekali tidak enak di dengar. Aku hanya bisa diam, tertunduk dan hampir menangis. Aku tidak pernah dimarahi seperti ini sebelumnya. Di sekolah lamaku, aku bahkan dijadikan anak emas.
            “Maaf pak, tadi ban motor saya bocor, jadi dia menolong saya ke bengkel di jalan pak.” tiba-tiba laki-laki yang berada di sebelahku ini berbicara.
            Pak guru yang sepertinya sudah bosan memarahi kami,  hanya diam saja mendengar alasan siswa laki-lakinya itu. Dan upacara pun sepertinya menjelang akhir.
            ‘Kalian tahu, hari ini kalian tidak mengikuti upacara penerimaan, jadi kalian tidak diterima di sekolah ini sebagai siswa.” kata guru itu. Sontak kami berdua terkejut.
“Masa karena terlambat beberapa menit saja pada upacara penerimaan siswa baru kami jadi diterima?” pikirku. Seharusnya aku senang dengan kata-kata yang diucapkan guru itu. Tapi sekarang berbeda, aku merasa perjuanganku selama ini untuk tidak mengecewakan orang tuaku telah berakhir.
Air mataku mulai menetes tanpa kusadari. Aku jadi menyesal dan memikirkan kejadian buruk ini yang ikut menimpa orang lain yang tak ku kenal, dan seharusnya dia tidak mengalami hal ini.
“Padahal dia seharusnya tidak terlambat datang kesekolah, tapi karena ingin membantuku dia jadi ikut terlambat. Dan jika tadi sebentar saja aku berpegangan padanya, pasti kami akan lebih cepat sampai kesekolah karena dia sangat cepat mengendarai motornya, tapi aku malah tidak ingin menyentuhnya” sesalku dalam hati.
Aku ingin sekali meminta pada guru itu agar kami tidak dikeluarkan, atau setidaknya laki-laki ini tidak dikeluarkan, tapi aku tidak bisa berkata apa-apa.
“Pak, saya minta maaf Pak. Saya tidak bermaksud untuk tidak menghadiri upacara penerimaan  siswa baru ini secara sengaja pak. Saya mohon pak, agar kami bisa diterima kembali.” pinta anak laki-laki di sebelahku.
Tapi, guru itu malah menujuk kearah gerbang sekolah, seakan tangannya mengatakan kami berdua harus pergi.
“Tapi Pak…” kata anak laki-laki itu lagi.
Aku melihat kesungguhan di matanya. Guru itu mengngerutkan dahinya.
“Saya siap dihukum Pak, asalkan saya bisa tetap sekolah disini.” katanya dengan wajah memelas.
“Ada apa dengan kedua murid ini Pak?” tanya seorang laki-laki dengan suara berat berjalan dari belakang guru yang memarahi kami.
“Ini Pak, mereka terlambat. Seharusnya mereka tidak diterima lagi di sekolah ini, tapi mereka menolak saya suruh pulang.” kata guru itu.
Sesaat kami semua terdiam. Kemudian kedua guru itu memisahkan diri dari kami dan membicarakan sesuatu yang kami berdua tidak dapat mendengarnya.
“Heii.. Kamu udah gak nagis lagi kan? Aku akan berusaha supaya kita gak jadi dikeluarkan.” katanya dengan sedikit berbisik.
Aku mulai mengangkat wajahku dan menatap wajahnya dengan sejelas-jelasnya.
“Apa kamu begitu sedih??” tanyanya padaku. Masih kulihat senyumnya yang tulus. Dia tidak tampak seperti manusia dihadapanku, aku tak tahu apakah ini efek dari mataku yang masih berkaca-kaca karena air mata, tapi dia tampak seperti malaikat.
“Heii, kenapa kamu ngeliat aku gitu si? Kamu suka aku ya…? Hahaha.” godanya.
Aku tersadar dan mengalihkan pandanganku. Kulihat dua guru itu masih berbicara hal yang tidak kami ketahui.
“Apa kamu yakin kita akan tetap bisa bersekolah di sini?” tanyaku.
“Yakin, kenapa enggak?” jawabnya.
“Aku tidak..” kataku.
“Ohh, jadi karena itu kamu hanya bisa nangis dan gak mau membela diri? Kita gak akan mungkin dikeluarkan gitu aja kok. Percaya deh.” tegasnya.
Akhirnya guru piket tadi menghampiri kami.
“Tadi kalian bilang siap dihukumkan? Ikut saya!” katanya dan pergi.
Kami berdua saling menatap dan mengikuti guru itu. Ternyata kami dapat Surat Peringatan I dari sekolah. Dan dihukum membersihkan halaman sekolah selama seminggu penuh.
“Hahahaha, baru hari pertama sekolah di sini kita udah dapat masalah ya.. Masa udah dapat SP I? Bisa masuk Rekor Dunia nih..” katanya padaku dengan senyum itu lagi.
“Makasih ya..” jawabku.
“Untuk apa? Untuk SP pertama kita ini atau untuk rekor keterlambatan kita?” katanya.
“Kamu udah mau bantu aku walau kita belum saling kenal.” jawabku denagn suara lembut.
“Iya… iya… Eh, aku duluan ya.” katanya sambil berjalan memasuki ruang kelasnya.
Aku mengangguk.
***

            Pulang sekolah, kami berdua harus membersihkan lapangan sekolah.
            “Gimana mau betah sekolah di sini, hari pertama aja udah bermasalah..” keluhku. Sambil memegang sapu lidi dan serok aku membersihkan lapangan. Untung saja saat pulang sekolah hari pertama ini tidak banayk siswa yang nongkrong di halaman sekolah.
            “Hay…!!” suara yang sudah ku kenal menyapaku.
            “Hay..” balasku datar sambil menegakkan punggungku yang dari tadi bungkuk. Kulihat wajahnya masih dengan senyuman yang sungguh mempesona. Makin lama makin menarik saja, tapi aku tidak mau dia tahu kalau aku menyukai tingkahnya itu.
            “Bantuin dong!!” kataku agak sedikit memaksa.
            “Ehh.. Iya-iya, ini juga aku mau bantuin.. hehehe” jawabnya.
            Aku ini memang agak sulit bergaul, padahal ini adalah hal yang positif ada orang lain yang mau menolong dan welcome sama aku, tapi kenapa aku malah gak welcome? Aku juga tidak tahu, mungkin bagiku terlalu cepat aku untuk mempercayai seseorang dalam waktu setengah hari.
            Tugas membersihkan halaman akhirnya selesai tanpa ada basa-basi lagi antara aku dan anak laki-laki itu. Sesudah membereskan peralatan, kami mencuci tangan dan harus melapor kepada satpam.
            “Akhirnya selesai juga ya..” katanya dengan senyum itu lagi. Aku meliriknya dan hanya diam saja, seolah hanya aku yang bekerja.
            “Kenapa sih dari tadi diem aja? Kamu sakit?” tanyanya.
            “Enggak kok.” jawabku.
            “Trus?” tanyanya lagi.
            Aku bingung mau menjawab apa. Aku memang tidak mempunyai alasan kenapa setiap melakukan suatu pekerjaan aku selalu diam.
            “Kamu pasti jengkel ngerjain pekerjaan yang kamu tidak ingini kan. Kalo kamu anggep kita lagi dihukum, emang malu dan ngejengkelin hasilnya. Tapi, kalo kamu  anggap kita lagi olahraga, pasti gak berat deh ngelakuinnya. Take it easy aja lahh..” katanya.
Aku mulai menganalisa setiap kata-katanya, mungkin dia sedang berkata jujur, sehingga walaupun dalam keadaan yang tidak baik, dia masih bisa tersenyum.
Setelah melapor kepada pek satpam, aku dapat tawaran dari laki-laki yang sudah banyak sekali memberi pelajaran padaku hari ini. Tapi, entah kenapa aku bersikeraas untuk pulang sendiri. Dan akhirnya kami pulang sendiri-sendiri.
            Sampai di rumah, tidak ada siapa-siapa. Orang tuaku bekerja dan akan pulang sore menjelang malam. Seharusnya aku juga mengikuti berbagai macam les, privat atau semacamnya, tapi mama mengijinkan aku libur.


 (To Be Continued ...)

0 komentar:

Posting Komentar

Say something please...

 

BLOG MISS PEBRI Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea